Laman

Powered By Blogger

Kamis, 10 Juni 2010

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DHF
(DENGUE HAEMORAGIC FEVER)



BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Christantie Effendy, 1995). DHF selama tiga abad terakhir ini diketahui terjadi di daerah beriklim tropis, subtropis, dan sedang di seluruh dunia. Kejadian Luar biasa (KLB) penyakit dengue serupa dengan DHF yang dicatat pertama kali terjadi di Australia tahun 1897. Penyakit perdarahan serupa juga berhasil dicatat pada tahun 1928 saat terjadi di Yunani dan kemudian Taiwan tahun 1931. Epidemi DHF pertama yang berhasil dipastikan, dicatat di Filipina antara 1953-1954. Selanjutnya, KLB besar DHF yang mengakibatkan banyak kematian terjadi di sebagian besar negara Asia Tenggara, termasuk India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Sri Lanka dan Thailand, juga di Singapura, Kamboja, China, Laos, Malaysia, Kaledonia Baru, Palau, Filipina, Tahiti dan Vietnam di wilayah Pasifik barat. Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan yang tajam pada insidensi dan penyebaran DHF secara geografis dan di beberapa negara Asia Tenggara, sekarang epidemi terjadi setiap tahun (Herdiansyah, 2009).
DHF tersebar luas di seluruh Indonesia meliputi semua propinsi yang ada. Indonesia penyakit DHF pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat, namun spesies ini juga ditemukan di daerah pedesaan. Pada tahun 2004 merebaknya penyakit Dengue Haemoragic fever (DHF), dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan sebagian lagi menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan merespon kasus ini. Sejak Januari sampai dengan 5 Maret tahun 2004 total kasus DHF di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53%).
Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534 orang) sedangkan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%) (Kristina dkk, 2004). Penyakit DHF pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk dan kurangnya perilaku hidup sehat dalam pencegahan DHF (Herdiansyah, 2008).
Sebagai kalangan mahasiswa kesehatan selayaknya mengetahui bahaya dengue haemoragic fever (DHF) bagi kehidupan orang dewasa dan khususnya pada anak-anak yang bisa mempengaruhi kesehatan mereka sendiri. Sebagai mahasiswa kesehatan sepatutnya mampu mengidentifikasi tanda dan gejala dari dengue haemoragic fever (DHF) serta dapat bertindak dalam memberikan pelayanan terbaik pada klien anak yang menderita dengue haemoragic fever (DHF) khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan di rumah sakit.
1.2 Rumusan Masalah
Apa serta bagaimana peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien anak dengan dengue haemoragic fever (DHF) ?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum :
Menjelaskan apa dan bagaimana peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien anak dengan dengue haemoragic fever (DHF).
Tujuan Khusus :
1. Dapat menjelaskan konsep dari dengue haemoragic fever (DHF).
2. Dapat menjelaskan etiologi dari dengue haemoragic fever (DHF).
3. Dapat mengidentifikasi tanda dan gejala dari dengue haemoragic fever (DHF).
4. Dapat menjelaskan pengaruh dan komplikasi dengue haemoragic fever (DHF).
5. Dapat menjelaskan patofisiologi dari dengue haemoragic fever (DHF).
6. Dapat menjelaskan dan menganalisis problem tree dari dengue haemoragic fever (DHF) sampai munculnya masalah keperawatan.

1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan akan memberikan tambahan wawasan, ilmu, bahan kajian, dan informasi yang dapat dijadikan masukan bagi pembaca khususnya bagi para mahasiswa keperawatan mengenai dengue haemoragic fever (DHF) dalam pemberian asuhan keperawatan serta di harapkan akan dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit.

BAB 2
KONSEP PENYAKIT


2.1 Pengertian DHF
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina) (Christantie Effendy, 1995).
Demam dengue adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak dan remaja atau orang dewasa dengan tanda-tanda klinis berupa demam, nyeri otot dan/ atau nyeri sendi yang disertai leukopenioa dengan/tanpa ruam, dan limfadenopati, demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mat, gangguan rasa mengecap, trombositopenia ringandan petekiie spontan (Mansjoer, 2001).
2.2 Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.

2.3 Tanda Dan Gejala
1. Demam tinggi selama 5 – 7 hari
2. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
3. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.
4. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.
5. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
6. Sakit kepala.
7. Pembengkakan sekitar mata.
8. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
9. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

2.4 Komplikasi
Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :
1. Perdarahan luas.
2. Shock atau renjatan.
3. Effusi pleura
4. Penurunan kesadaran.

2.5 Klasifikasi DHF
1. Derajat I :
Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positif, trombositopeni dan hemokonsentrasi.
2. Derajat II :
Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.
3. Derajat III :
Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.
4. Derajat IV :
Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.

2.6 Patofisiologi
Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu. Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.
Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah , menurunnya volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia dan diathesis hemorrhagic , renjatan terjadi secara akut. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.

2.8 Penatalaksanaan
a. Tirah baring.
b. Pemberian makanan lunak.
c. Pemberian cairan melalui infus.
d. Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan cairan intra vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter , K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.
e. Pemberian obat-obatan : antibiotik, antipiretik dan anti konvulsi jika terjadi kejang
f. Observasi tanda-tanda vital.
g. Observasi adanya tanda-tanda renjatan.
h. Observasi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
i. Periksa HB, HT, dan trombosit setiap hari.
2.10 Dampak Hospitalisasi
Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stres tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan. Penyebab anak stress meliputi :
a. Psikososial
Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran
b. Fisiologis
Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri
c. Lingkungan asing
Kebiasaan sehari-hari berubah
d. Pemberian obat kimia
Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)
e. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya
f. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri
g. Selalu ingin tahu alasan tindakan
h. Berusaha independen dan produktif
Reaksi orang tua :
a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak
b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya peraturan Rumah sakit.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN DENGUE HAEMORAGIC FEVER


3.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
DHF merupakan penyakit daerah tropis yang sering menyebabkan kematian anak, remaja dan dewasa ( Effendy, 1995 )
2. Keluhan Utama
Pasien mengeluh panas, sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan nafsu makan menurun.
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot, pegal seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas, mual, dan nafsu makan menurun.
4. Riwayat penyakit terdahulu
Tidak ada penyakit yang diderita secara spesifik.
5. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain sangat menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegipty.
6. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Biasanya lingkungan kurang bersih, banyak genangan air bersih seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung yang jarang diganti airnya, bak mandi jarang dibersihkan.
7. Riwayat Tumbuh Kembang.

3.1.1 Pengkajian Persistem :
 Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis, pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar ronchi, krakles.
 Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta pada grade IV dapat terjadi DSS.
 Sistem Cardiovaskuler
Pada grade I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif, trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
 Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran hati, abdomen teregang, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat hematemesis, melena.
 Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing berwarna merah.
 Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat positif pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi perdarahan spontan pada kulit.

3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya ciran intravaskuler ke ekstravaskuler.
3. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
4. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun/anoreksia.
5. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dnegan penurunan faktor-faktor pembekuan darah ( trombositopeni ).
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses viremia.
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan kondisi fisik, kelemahan fisik.
8. Kecemasan berhubungan dengan kondisi klien yang memburuk dan perdarahan.
9. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan adanya perdarahan ekstravaskuler
10. Gangguan pemenuhan istirahat tidur berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh/ hipertermi, dampak dari hospitalisasi.

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
Tujuan : Suhu tubuh normal
Kriteria hasil : Suhu tubuh antara 36 – 37 dan nyeri otot hilang.
Intervensi :
a. Beri kompres dingin
Rasional : Kompres dingin akan terjadi pemindahan panas secara konduksi.
b. Berika / anjurkan klien anak untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari ( sesuai toleransi )
Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi.
c. Anjurkan klien anak untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat
Rasional : Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.
d. Observasi intake dan output, tanda vital ( suhu, nadi, tekanan darah ) tiap 3 jam sekali atau lebih sering.
Rasional : Mendeteksi dini kekurangan cairan serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum klien.
e. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai program.
Rasional : Pemberian cairan sangat penting bagi klien anak dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnyauntuk menurunkan suhu tubuh klien.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi devisit voume cairan
Kriteria hasil :
 Input dan output seimbang
 Vital sign dalam batas normal
 Tidak ada tanda presyok
 Akral hangat
 Capilarry refill (CRT) < 3 detik
Intervensi :
a. Observasi vital sign tiap 3 jam/lebih sering.
Rasional : Vital sign membantu mengidentifikasi fluktuasi cairan intravaskuler

b. Observasi capillary Refill tiap 3 jam/lebih sering.
Rasional : Indikasi keadekuatan sirkulasi perifer
c. Observasi intake dan output. Catat warna urine / konsentrasi, BJ.
Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan BJ diduga dehidrasi.
d. Anjurkan untuk minum 1500-2000 ml /hari ( sesuai toleransi ).
Rasional : Untuk memenuhi kabutuhan cairan tubuh peroral
e. Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian cairan intravena.
Rasional : Dapat meningkatkan jumlah cairan tubuh, untuk mencegah terjadinya hipovolemic syok.
3. Resiko Syok hipovolemik berhubungan dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler.
Tujuan : Tidak terjadi syok hipovolemik
Kriteria : Tanda Vital dalam batas normal
Intervensi :
a. Observasi keadaan umum klien anak tiap 3 jam/lebih sering.
Rasional ; Untuk memonitor kondisi klien anak selama perawatan terutama saat terjadi perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok / syok
b. Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih.
Rasional : Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan tidak terjadi presyok / syok
c. Jelaskan pada klien anak dan keluarga tanda perdarahan, dan segera laporkan jika terjadi perdarahan.
Rasional : Dengan melibatkan klien dan keluarga maka tanda-tanda perdarahan dapat segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat segera diberikan.
d. Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian cairan intravena.
Rasional : Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan tubuh secara hebat.
e. Kolaborasi dengan team laborat dalam pemeriksaan HB, PCV dan trombo.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami klien anak dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut.
4. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan yang menurun/ anoreksia.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan kebutuhan nutrisi.
Kriteria :
 Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
 Menunjukkan berat badan yang seimbang.
Intervensi :
a. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makanan yang disukai.
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan intervensi
b. Observasi dan catat masukan makanan klien.
Rasional : Mengawasi masukan kalori/kualitas kekurangan konsumsi makanan
c. Timbang BB tiap hari (bila memungkinkan ).
Rasional : Mengawasi penurunan BB / mengawasi efektifitas intervensi.
d. Berikan makanan sedikit namun sering dan atau makan diantara waktu makan.
Rasional : Makanan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan masukan juga mencegah distensi gaster.
e. Berikan dan bantu oral hygiene.
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan masukan peroral
f. Hindari makanan yang merangsang dan mengandung gas.
Rasional : Menurunkan distensi dan iritasi gaster.
5. Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor-faktor pembekuan darah ( trombositopeni ).
Tujuan : Tidak terjadi perdarahan
Kriteria :
 TD 100/60 mmHg.
 N: 80-100x/menit regular.
 Pulsasi kuat.
 Tidak ada tanda perdarahan lebih lanjut, trombosit meningkat.

Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai tanda klinis.
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda adanya kebocoran pembuluh darah yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti epistaksis, ptike.
b. Pantau trombosit setiap hari.
Rasional : Dengan trombosit yang dipantau setiap hari, dapat diketahui tingkat kebocoran pembuluh darah dan kemungkinan perdarahan yang dialami klien anak.
c. Anjurkan pasien untuk banyak istirahat ( bedrest ).
Rasional : Aktifitas klien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya perdarahan.
d. Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga untuk melaporkan jika ada tanda perdarahan seperti hematemesis, melena, epistaksis.
Rasional : Keterlibatan klien dan keluarga dapat membantu untuk penaganan dini bila terjadi perdarahan.
e. Antisipasi adanya perdarahan : gunakan sikat gigi yang lunak, pelihara kebersihan mulut, berikan tekanan 5-10 menit setiap selesai ambil darah.
Rasional : Mencegah terjadinya perdarahan lebih lanjut.

3.4 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan asuhan keperawatan adalah:
1. Suhu tubuh dalam batas normal.
2. Intake dan out put kembali normal / seimbang.
3. Pemenuhan nutrisi yang adekuat.
4. Perdarahan tidak terjadi / teratasi.
5. Pengetahuan keluarga bertambah.
6. Shock hopovolemik teratasi.

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada klien anak yang mengalami dengue haemoragic fever (DHF) merupakan bentuk asuhan keperawatan kompleks yang melibatkan aspek biologis, psikologis dan sosial dalam proporsi yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya.
Asuhan keperawatan yang paripurna harus dilaksanakan dengan kompeten dan professional agar dapat memcapai tingkat homeostatis maksimal bagi klien anak. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegakkan untuk membantu klien anak mencapai tingkat optimalisasi dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat penyakit dengue haemoragic fever (DHF).

4.2 Saran
Untuk menjadikan makalah ini menjadi makalah yang sempurna maka harus disertai saran-saran yang bersifat mendorong dan membangun, saran - saran itu antara lain :
1. Kita hendaknya lebih memahami tentang dengue haemoragic fever (DHF) dalam meningkatkan pelayanan pada penderita khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan.
2. Kita hendaknya mampu dan mau mempelajari makalah “Asuhan Keperawatan Anak Dengan DHF”, demi untuk menambah pengetahuan dibidang ilmu keperawatan khususnya, dan dibidang pelayanan dan pemberian asuhan keperawatan pada umumnya.
Demikian saran dari kami semoga apa yang kami suguhkan dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan DHF. http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2009/02/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan.html. (akses tanggal 25 Maret 2010).

Carpenito, Linda Juall. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Ed. 10. Jakarta : EGC.

Effendi, Christantie (1995). Perawatan Pasien DHF. Jakarta : EGC, hal 1-8

Harnawatiaj. (2008). Askep DHF. http://www.harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/27/-askep-dhf/-88k. . (akses tanggal 25 Maret 2010).

Herdiansyah (2008). http://www.Puskesmas Arosbaya Asuhan Keperawatan pada pasien DHF.htlm. (akses 26 Maret 2010).

Indonesian nurse. (2008). Asuhan Keperawatan Anak dengan Demam Berdarah Dengue. http://indonesiannursing.com/2008/09/29/asuhan-keperawatan-anak-dengan-demam-berdarah-dengue/. (akses tanggal 25 Maret 2010).

Mansjoer Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, -Ed.03-. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius, hal 419-422

Marlyn E Doenges,. (2001), Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC.

Ncithea. (2008). Asuhan Keperwatan Pada Anak Dengan DHF. http://askep.blogspot.com/2008/01/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan_6163.html. (akses tanggal 25 Maret 2010).

Sudrajat. (2008). Askep Anak Dengan DHF. http://kusuma.blog.friendster.com/2008/10/askep-anak-dengan-dhf/. (akses tanggal 25 Maret 2010).

Senin, 12 April 2010

Askep Ca Cervix

MAKALAH
KEPERAWATAN MATERNITAS
CA CERVIX

Oleh :
Heru Cahyadi

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ca cervix atau kanker leher /mulut rahim merupakan jenis penyakit kanker yang paling banyak diderita wanita diatas usia 18 tahun. Kanker leher /mulut rahim ini menduduki urutan nomor dua penyakit kanker didunia bahkan sekitar 500.000 wanita di seluruh dunia di diagnosa menderita kanker mulut rahim dan rata-rata 270.000 meninggal tiap tahun (Depkes RI, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2010 kanker leher /mulut rahim menjadi penyebab utama mortalitas diseluruh dunia dan pada tahun 2030 diperkirakan terjadi kasus kanker baru sebanyak 20 hingga 26 juta jiwa dan 13 hingga 17 juta jiwa meninggal akibat kanker leher rahim. Peningkatan angka kejadian kanker diperkirakan sebesar 1% per tahun. Pada tahun 2008 disampaikan dalam world cancer report bahwa terjadi 12 juta jiwa pasien yang baru didiagnosis kanker mulut rahim (ca servix).
Sekitar 80% kasus kanker mulut rahim terjadi pada wanita yang hidup berkembang. Di Indonesia terdapat 90-100 kasus kanker mulut rahim per 100.000 penduduk. Kanker mulut rahim adalah kematian nomor satu yang sering terjadi pada wanita Indonesia. Setiap wanita tanpa memandang usia dan latar belakang beresiko terkena kanker mulut rahim.
Sebagai kalangan mahasiswa kesehatan selayaknya mengetahui bahaya ca cervix bagi kehidupan manusia, yang bisa mengancam jiwa manusia itu sendiri. Sebagai mahasiswa kesehatan sepatutnya mampu mengidentifikasi tanda dan gejala dari ca servix serta dapat bertindak dalam memberikan pelayanan terbaik pada pasien yang menderita ca cervix khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan di rumah sakit.

BAB 2
KONSEP CA CERVIX

2.1 Pengertian
Kanker leher rahim atau carcinoma cervix adalah keganasan dari serviks yang ditandai dengan adanya perdarahan lewat jalan lahir atau vagina, tetapi gejala tersebut tersebut tidak muncul sampai tingkat lanjut, dimana tanda dan diagnosa pasti bisa ditegakkan dengan menggunakan pap smear(Zhukmana, 2009).
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal disekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997).

2.2 Etiologi
Sebab langsung dari kanker serviks belum diketahui (idiopatik).
2.3 Faktor Predisposisi
1. Status perkawinan
Insiden terjadi lebih tinggi pada wanita yang menikah, terutama gadis yang coitus pertama (coitarche) pada usia < 16 tahun. Insiden meningkat dengan tingginya paritas, apalagi jarak persalinan terlampau dekat.
2. Golongan sosial ekonomi rendah
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.
3. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kanker serviks pada wanita yang pasangannya belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma.
4. Merokok dan AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks yaitu bermula dari adanya erosi diserviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus, hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.
5. Infeksi virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dam virus papiloma atau virus kondiloma akuminta diduga sebagai faktor penyebab kanker serviks
6. Sering berganti-ganti pasangan.
Akan meningkatnya resiko terpapar HPV
7. Jumlah kehamilan dan partus
Kanker serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan resiko mendapat karsinoma serviks.
8. Insiden meningkat pada pasangan dengan laki-laki yang tidak bersunat
9. Kebiasaan merokok ataupun terpapar karsinogen.
10. Penyakit menular seksual.
11. Memiliki kebiasaan sex yang menyimpang.
12. Menggunakan pil KB lebih dari 4 tahun menaikkan resiko 1,5 – 2,5 kali.
13. Kekurangan vitamin C, asam folat, retinol dan vitamin E.

2.4 Tanda Dan Gejala
 Gejala kanker leher /mulut rahim pada stadium dini :
• Kadang-kadang terjadi pendarahan
• Pendarahan setelah berhubungan intim
• Munculnya keputihan : makin lama, makin berbau busuk, diakibatkan infeksi dan nekrosis jaringan
• Perdarahan setitik pasca senggama dan pengeluaran cairan encer dari vagina, atau perdarahan kontak yaitu perdarahan yang dialami setelah senggama, merupakan gejala Ca Serviks (75-80%)
 Gejala kanker leher /mulut rahim pada stadium lanjut :

• Hilangnya nafsu makan dan berat badan
• Nyeri perut bawah, panggul dan punggung : ditimbulkan oleh infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.
• Perdarahan spontan : perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah dan makin lama makin sering terjadi, terutama pada tumor yang bersifat eksofitik.
• Pendarahan dari saluran kencing dan anus
• Keluarnya feaces menyertai urin melalui vagina
• Anemia : terjadi akibat perdarahan pervaginam yang berulang.
• Pebengkakan pada kaki
• Gagal ginjal : infiltrasi sel tumor ke ureter yang menyebabkan obstruksi total.

2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Sitologi/Pap Smear (Prostatic Acid Phosphate)
Keuntungan : Murah dan dapat memeriksa bagian-bagian yang tidak terlihat.
Kelemahan : Tidak dapat menentukan dengan tepat lokalisasi
2. Schillentest
Epitel karsinoma serviks tidak mengandung glycogen karena tidak mengikat yodium. Kalau porsio diberi yodium maka epitel karsinoma yang normal akan berwarna coklat tua, sedang yang terkena karsinoma tidak berwarna.
3. Kolposkopi
Memeriksa dengan menggunakan alat untuk melihat serviks dengan lampu dan dibesarkan 10-40 kali.
Keuntungan : dapat melihat jelas daerah yang bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy.
Kelemahan : hanya dapat memeriksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelainan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat.
4. Kolpomikroskopi
Melihat hapusan vagina (Pap Smear) dengan pembesaran sampai 200 kali.
5. Biopsi
Dengan biopsi dapat ditemukan atau ditentukan jenis karsinomanya
6. Konisasi
Dengan cara mengangkat jaringan yang berisi selaput sendir serviks dan epitel gepeng dan kelenjarnya. Konisasi dilakukan bila hasil sitologi meragukan dan para serviks tidak tampak kelainan-kelainan yang jelas.
7. Pemeriksaan secara radiologis (CT Scan dan MRI) untuk mengetahui apakah sudah ada penyebaran lokal dari ca tersebut.
8. Servikografi
9. Gineskopi
10. Pap net/pemeriksaan terkomputerisasi dengan hasil lebih sensitive

2.8 Penatalaksanaan
Bagi pasien yang terdiagnosa mengalami perubahan abnormal sel sejak dini, maka dapat dilakukan beberapa hal seperti :
1. Pemanasan, diathermy atau dengan sinar laser.
2. Cone biopsi, yaitu dengan cara mengambil sedikit dari sel-sel servix termasuk sel yang mengalami perubahan. Tindakan ini memungkinkan pemeriksaan yang lebih teliti untuk memastikan adanya sel-sel yang mengalami perubahan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh ahli kandungan.
Jika perjalanan penyakit telah sampai pada tahap pre-kanker dan kanker servix telah dapat diidentifikasi, Maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk penyembuhannya, antara lain :
1. Operasi atau hysterectomy yaitu dengan mengambil daerah yang terserang kanker, biasanya uterus beserta leher rahimnya.
2. Radioterapi yaitu dengan menggunakan sinar X berkekuatan tinggi yang dapat dilakukan secara internal maupun eksternal.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan
a) Biodata
Umur, resiko tinggi 30-60 tahun, perkawinan muda, jumlah anak, usia pernikahan.
b) Riwayat Kesehatan
Adanya penggunaan kontrasepsi pil.
c) Keluhan Utama
 Tahap dini : keputihan, perdarahan pervaginam, nyeri, gangguan miksi.
 Tahap lanjut : perdarahan pervaginam yang terus - menerus, nyeri perut
bagian bawah, edema.
d) Status Ginekologi dan obstetri
 Siklus menstruasi: terjadi perdarahan intramenstruasi (diluar siklus)
 Perdarahan post coitus
 Keputihan
e) Aktivitas sehari-hari:
 Pola makan: anoreksia, vomiting.
 Pola eliminasi: inkontinensia urine, alvi
 Pola aktivitas dan tidur terganggu, terasa nyeri.
f) Riwayat Psikososial :
Konsep diri, emosi, pola interaksi, mekanisme koping, problem menonjol adalah mengingkari, marah, perasaan putus asa dan tidak berdaya, depresi atau bahkan memusuhi.
g) Pemeriksaan Fisik
 Kepala dan leher: rambut rontok, anemis
 Abdomen: teraba massa bila sudah metastase
 Genetalia: kotor, cairan keputihan, bau.

3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut/kronik b.d penekanan serabut saraf oleh infiltrasi sel kanker ke jaringan sekitar.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan kebutuhan metabolisme tumor.
3. Kurang perawatan diri b.d adanya kelemahan fisik.
4. Gangguan konsep diri b.d adanya bau khas kanker yang mengganggu.
5. Perubahan terhadap pola seksual b.d adanya perdarahan yang terus menerus dan keputihan.
6. Penurunan cardiac output b.d penurunan kadar sel darah merah

3.3 Intervensi Keperawatan
a). Dx 1 : Nyeri akut/kronik b.d penekanan serabut saraf oleh infiltrasi sel kanker ke jaringan sekitar
Tujuan: Klien mendemonstrasikan keadaan yang bebas dari nyeri
KH: Klien rileks dan tidak kesakitan Skala nyeri 0-3 Tekanan darah dan nadi dalam batas normal (100-30/ 60-80 mmHg).
Intervensi :
1. Kaji tingkat nyeri klien dalam skala 0-10 ( R/: menentukan intervensi selanjutnya)
2. Observasi tanda-tanda vital (R/: penyimpangan TTV dari batas normal merupakan hal yang perlu diwaspadai oleh perawat dan bisa segera dilakukan intervensi lebih lanjut).
3. Ajari klien tehnik distraksi dan relaksasi (R/: tehnik distraksi dan relaksasi telah terbukti dapat mengurangi nyeri secara non farmakologis).
4. Ajak klien berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan dan kegiatan klien sehari-hari. (R/: merupakan salah satu cara mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri yang dirasakannya).
5. Kerjasama dengan tim medis dalam memberikan terapi analgesik (R/: analgesik bekerja dengan menghambat nosiseptif nyeri menempati reseptornya, sehingga nyeri tidak dirasakan lagi).

b). Dx 2 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan kebutuhan metabolisme tumor.
Tujuan: Klien mendemonstrasikan keadaan nutrisi yang adekuat
KH : Tidak terjadi penurunan BB dan antropometri tubuh Klien bebas dari mual dan muntah
Intervensi :
1. Kaji intake nutrisi klien setiap hari (R/: memungkinkan perawat dapat mengetahui status nutrisi klien).
2. Kaji BB dan antropometri tubuh setiap hari (R/: menemukan adanya penyimpangan dari normal sedini mungkin).
3. Berikan diit TKTP (Protein diperlukan untuk regenerasi sel dan pemuihan).
4. Perbanyak intake buah-buah dan sayur (R/: vitamin dalam buah dan sayur sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh)

c). Dx 3 : Kurang perawatan diri b.d adanya kelemahan fisik.
Tujuan: Klien mendemonstrasikan keadaan perawatan diri yang terpenuhi
KH: Penampilan klien bersih Klien terawat Kebutuhan ADL klien dapat terpenuhi
Intervensi :
1. Kaji kemampuan klien dalam merawat diri (R/: memungkinkan perawat dapat memberikan intervensi yang sesuai).
2. Bantu klien dalam perawatan dirinya seminimal mungkin (R/: klien dapat terpenuhi kebutuhan perawatannya).
3. Dorong klien untuk melakukan hal-hal yang mampu dilakukannya sendiri secara mandiri (R/: memandirikan klien secara bertahap, sehingga klien tidak terlalu bergantung pada perawat).
4. Kerjasama dengan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar (R/: keluarga sebagai mitra kerja perawat dalam memenuhi kebutuhan klien).

Daftar Pustaka
Sudiana, I Ketut. (2008). Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta : Salemba Medika, hal 27-59

Zhukmana, Aulia. (2009). Laporan Pendahuluan Carcinoma Cervix. http://www.scribd.com/doc/16308810/LP-CA-Cervix-Zhukma (akses tanggal 26 September 2009)

Ircham, Raden. (2008). Keperawatan maternitas Ca Cervix. http://kaeperawatanmaternitas.blogspot.com/2008/09/cancer-servic.html (akses tanggal 26 September 2009)

Sarengat, Ika. (2007). Penanganan Ca Cervix. http://susternada.blogspot.com/2007/07/penanganan-ca-cervix.html (akses tanggal 26 September 2009)

Wikipedia. (2009). Cervical Cancer. http://id.wikipedia.org/wiki/Kanker_leher_rahim (akses tanggal 24 September 2009)

Anonymous. (2009). Kanker Rahim. http://kesehatan.07x.net/index.php/cervicalcancercat/58-kanker-rahim-cervical-cancer.html (akses tanggal 24 September 2009)

Anonymous. (2009). Natural history of cervical cancer. http://pdfdatabase.com/download_file_i.php?file=1628579&desc=cervix+.pdf (akses tanggal 24 September 2009)

Anonymous. (2008). Penyakit kanker leher rahim. http://www.infopenyakit.com/2008/07/penyakit-kanker-leher-rahim-serviks.html (akses tanggal 2 Oktober 2009)

Admin. (2008). Penyebab dan gejala kanker leher rahim. http://www.f-buzz.com/2008/07/30/penyebab-dan-gejala-kanker-leher-rahim/. (akses tanggal 2 Oktober 2009)

Minggu, 11 April 2010

Askep PJB

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN CHD
(CONGENITAL HEART DISEASES)


Oleh :
Heru Cahyadi


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Congenital heart diseases (CHD) atau penyakit jantung bawaan adalah sekumpulan malformasi struktur jantung atau pembuluh darah besar yang telah ada sejak lahir. Penyakit jantung bawaan yang kompleks terutama ditemukan pada bayi dan anak. Apabila tidak dioperasi, kebanyakan akan meninggal waktu bayi. Apabila penyakit jantung bawaan ditemukan pada orang dewasa, hal ini menunjukkan bahwa pasien tersebut mampu melalui seleksi alam, atau telah mengalami tindakan operasi dini pada usia muda (IPD FKUI : 1996).
Congenital heart diseases (CHD) atau penyakit jantung bawaan merupakan kelainan bawaan yang sering ditemukan, yaitu 10% dari seluruh kelainan bawaan dan sebagai penyebab utama kematian pada masa neonatus. Perkembangan di bidang diagnostik, tatalaksana medikamentosa dan tehnik intervensi non bedah maupun bedah jantung dalam 40 tahun terakhir memberikan harapan hidup sangat besar pada neonatus dengan CHD yang kritis. Bahkan dengan perkembangan ekokardiografi fetal, telah dapat dideteksi defek anatomi jantung, disritmia serta disfungsi miokard pada masa janin. Di bidang pencegahan terhadap timbulnya gangguan organogenesis jantung pada masa janin sampai saat ini masih belum memuaskan, walaupun sudah dapat diidentifikasi adanya multifaktor yang saling berinteraksi yaitu faktor genetik dan lingkungan (IdeBagus : 2008).
Penyakit jantung kongenital bisa terjadi kepada anak-anak di dunia tanpa melihat kedudukan sosial ekonomi. Kejadian ini berlaku antara 8 -10 kes bagi setiap 1000 kelahiran hidup. Jika seorang anak dijangkiti, kadar berulangnya kejadian ini pada anaknya nanti ialah antara 4.9 -16% . Penyakit Jantung Kongenital merupakan 42% dari keseluruhan kecacatan kelahiran. Sebagian besar dari kematian bayi akibat kecacatan kelahiran adalah disebabkan oleh keabnormalan jantung. Mengikut Persatuan Jantung Amerika, pada tahun 1992, kecacatan jantung merupakan 31.4% dari semua kematian akibat kecacatan kelahiran. Kira-kira 40,000 bayi yang dilahirkan setiap tahun mendapat kecacatan jantung. Dari jumlah ini:
 8 - 13% menghidap Septum Atrium terbuka (ASD)
 6 - 11% menghidap Duktus Arteriosus terbuka (PDA)
 20 - 25% menghidap Septum Ventrikel berlubang (VSD)
(Dikutip dari IdeBagus : 2008).
Congenital heart diseases (CHD) yang berat dan tidak diatasi segera akan menimbulkan kegawatan dan kematian pada awal kehidupan bayi. Selain faktor tenaga dan fasilitas medis yang terbatas, problem finansial banyak menjadi penyebab bayi-bayi CHD tak dapat hidup. Kebanyakan orangtua bayi CHD adalah pasangan muda yang ekonominyamasih rendah. Insidensi penyakit jantung bawaan di dunia diperkirakan 8/1000 kelahiran hidup. Data mengenai penyakit jantung bawaan sangat bervariasi bergantung pada hasil penelitian terhadap anak atau orang dewasa, serta berdasarkan autopsy dan pemeriksaan kateterisasi. Di Indonesia sekitar 40.000 bayi dengan penyakit jantung bawaan. Saat ini, hanya sekitar 2% penderita yang bisa diselamatkan. Dengan perkiraan penduduk Indonesia sekitar 220 juta, maka setiap tahun terdapat sekitar 40.000 bayi lahir dengan CHD/ PJB (IdeBagus : 2008).
Sebagai kalangan mahasiswa kesehatan selayaknya mengetahui bahaya congenital heart diseases (CHD) bagi kehidupan anak-anak yang bisa mempengaruhi kesehatan mereka dan bisa berujung pada kematian. Sebagai mahasiswa kesehatan sepatutnya mampu mengidentifikasi faktor penyebab serta tanda dan gejala dari Congenital heart diseases (CHD), serta dapat bertindak dalam memberikan pelayanan terbaik pada klien anak yang menderita Congenital heart diseases (CHD) khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan di rumah sakit.


BAB 2
KONSEP CONGENITAL HEART DISEASES

2.1 Definisi
Congenital heart disease (CHD) atau penyakit jantung bawaan adalah kelainan jantung yang sudah ada sejak bayi lahir, jadi kelainan tersebut terjadi sebelum bayi lahir. Tetapi kelaianan jantung bawaan ini tidak selalu memberi gejala segera setelah bayi lahir tidak jarang kelainan tersebut baru ditemukan setelah pasien berumur beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun (Ngastiyah:1997).

2.2 Etiologi
Penyebab penyakit jantung congenital berkaitan dengan kelainan perkembangan embrionik, pada usia lima sampai delapan minggu, jantung dan pembuluh darah besar dibentuk. Penyebab utama terjadinya penyakit jantung congenital belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan :
 Faktor Prenatal :
a. Ibu menderita penyakit infeksi : rubella, influenza atau chicken fox.
b. Ibu alkoholisme.
c. Umur ibu lebih dari 40 tahun.
d. Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan insulin.
e. Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu dan sebelumnya ikut program KB oral atau suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter, ( thalidmide, dextroamphetamine, aminopterin, amethopterin).
f. Terpajan radiasi (sinar X).
g. Gizi ibu yang buruk.
h. Kecanduan obat-obatan yang mempengaruhi perkembangan embrio.

 Faktor Genetik :
a. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
b. Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
c. Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
d. Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.

2.3 Tanda dan Gejala
1. Infants :
 Dyspnea.
 Difficulty breathing (Kesulitan Bernafas).
 Pulse rate over 200 beats/mnt (Nadi lebih dari 200 kali/menit).
 Recurrent respiratory infections (infeksi saluran nafas yang berulang).
 Failure to gain weight (kesulitan penambahan berat badan).
 Heart murmur.
 Cyanosis.
 Cerebrovasculer accident/ CVA.
 Stridor and choking spells/ mencekik.
2. Children :
 Dyspnea.
 Poor physical development ( perkembangan fisik yang kurang).
 Decrease exercise tolerance (aktitas menurun).
 Recurrent respiratory infections (infeksi saluran nafas yang berulang).
 Heart murmur and thrill.
 Cyanosis.
 Squatting.
 Clubbing of fingers and toes.
 Elevated blood pressure (tekanan darah tinggi).

2.4 Klasifikasi
Terdapat berbagai cara penggolongan penyakit jantung congenital. Penggolongan yang sangat sederhana adalah penggolongan yang didasarkan pada adanya sianosis serta vaskuiarisasi paru.
1. Congenital Heart Diseases (CHD)non sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah, misalnya defekseptum (DSV), defek septum atrium (DSA), dan duktus arteriousus persisten (DAP).
2. Congenital Heart Diseases (CHD)non sianotik dengan vaskularisasi paru normal. Pada penggolongan ini termasuk stenosis aorta(SA),stenosis pulmonal (SP) dan koartasio aorta.
3. Congenital Heart Diseases (CHD)sianotik dengan vaskularisasi paru berkurang. Pada penggolongan ini yang paling banyak adalah tetralogi fallot (TF).
4. Congenital Heart Diseases (CHD)sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah, misalnya transposisi arteri besar (TAB).

a. CHD/ PJB Non sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah
Terdapat defek pada septum ventrikel, atrium atau duktus yang tetap terbuka menyebabkan adanya pirau (kebocoran) darah dari kiri ke kanan karena tekanan jantung dibagian kiri lebih tinggi daripada dibagian kanan.
1. Defek Septum Ventrikel (VSD)
DSV terjadi bila sekat ventrikel tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya darah dari bilik kiri mengalir ke bilik kanan pada saat sistole.
 Manifestasi klinik :
Pada pemeriksaan selain didapat pertumbuhan terhambat, anak terlihat pucat, banyak keringat bercucuran, ujung-ujung jari hiperemik. Diameter dada bertambah, sering terlihat pembonjolan dada kiri. Tanda yang menojol adalah nafas pendek dan retraksi pada jugulum, sela intrakostalis dan region epigastrium. Pada anak yang kurus terlihat impuls jantung yang hiperdinamik.
 Penatalaksanaan
Pasien dengan DSV besar perlu ditolong dengan obat-obatan utuk mengatasi gagal jantung. Biasanya diberikan digoksin dan diuretic, misalnya lasix. Bila obat dapat memperbaiki keadaan, yang dilihat dengan membaiknya pernafasan dan bertambahnya berat badan, rnaka operasi dapat ditunda sampai usia 2-3 tahun. Tindakan bedah sangat menolong karena tanpa tindakan tersebut harapan hidup berkurang.




(Gambar 2.1 Ventrikel Septum Defect/ VSD)

2. Defek Septum Atrium(ASD)
Kelainan septum atrium disebabkan dari suatu lubang pada foramen ovale atau pada septum atrium. Tekanan pada foramen ovale atau septum atrium,tekanan pada sisi kanan jantung meningkat.
 Manifesfasi klinik
Anak mungkin sering mengalami kelelahan dan infeksi saluran pernafasan atas, mungkin ditemukan adanya murmur jantung. Pada foto rongent ditemukan adanya pembesaran jantung dan diagnosa dipastikan dengan kateterisasi jantung.
 Penatalaksanaan
Kelainan tersebut dapat ditutup dengan dijahit atau dipasang suatugraft pembedahan jantung terbuka, dengan prognosis baik.



(Gambar 2.2 Atrium Septum Defect/ ASD)

3. Duktus Arteriosus Persisten (PDA)
DAP adalah terdapatnya pembuluh darah fetal yang menghubungkan percabangan arteri pulmonalis sebelah kiri (left pulmonary artery) ke aorta desendens tepat di sebelah distal arteri subklavikula kiri. DAP terjadi bila duktus tidak menutup bila bayi lahir. Penyebab DAP bermacam-macam, bisa karena infeksi rubella pada ibu dan prematuritas.
 Manifestosi klinik
Neonatus menunjukan tanda-tanda respiratory distress seperti mendengkur, tacipnea dan retraksi. Sejalan dengan pertumbuhan anak, maka anak akan mengalami dispnea, jantung membesar, hipertropi ventrikuler kiri akibat penyesuaian jantung terhadap peningkatan volume darah, adanya tanda machinery type . Murmur jantung akibat aliran darah turbulensi dari aorta melewati duktus menetap. Tekanan darah sistolik mungkin tinggi karena pembesaran ventrikel kiri.
 Penatalaksanaan
Karena neonatus tidak toleransi terhadap pembedahan, kelainan biasanya diobati dengan aspirin atau idomethacin yang menyebabkan kontraksi otot lunak pada duktus arteriosus. Ketika anak berusia 1-5 tahun, cukup kuat untuk dilakukan operasi.




(Gambar 2.3 Duktus Arteriosus Persisten/ PDA)


b. CHD/ PJB non sianotik dengan vaskularisasi paru normal
1. Stenosis Aorta
Pada kelainan ini striktura terjadi diatas atau dibawah katup aorta. Katupnya sendiri mungkin terkena atau retriksi atau tersumbat secara total aliran darah.
 Manifestasi klinik
Anak menjadi kelelahan dan pusing sewaktu cardiac output menurun, tanda-tanda ini lebih nampak apabila pemenuhan kebutuhan terhadap O2 tidak terpenuhi, hal ini menjadi serius dapat rnenyebabkan kematian, ini juga ditandai dengan adanya murmur sistolik yang terdengar pada batas kiri sternum, diagnosa ditegakan berdasarkan gambaran EKG yang menunjukan adanya hipertropi ventrikel kiri, dan dari kateterisasi jantung yang menunjukan striktura.
 Penatalaksanaan
Stenosis dihilangkan dengan insisi pada katup yang dilakukan pada saat anak mampu dilakukan pembedahan.




(Gambar 2.4 Stenosis Aorta/ SA)

2. Stenosis Pulmonal
Kelainan pada stenosis pulmonik, dijumpai adanya striktur padakatup, normal tetapi puncaknya menyatu.
 Manifestasi klinik
Tergantung pada kondisi stenosis. Anak dapat mengalami dyspne dankelelahan, karena aliran darah ke paru-paru tidak adekuat untukmencukupi kebutuhan O2 dari cardiac output yang meningkat. Dalamkeadaan stenosis yang berat, darah kembali ke atrium kanan yangdapat rnenyebabkan kegagalan jantung kongesti. Stenosis inididiagnosis berdasarkan murmur jantung sistolik, EKG dan kateterisasijantung.
 Penatalaksanaan
Stenosis dikoreksi dengan pembedahan pada katup yang dilakukanpada saat anak berusia 2-3 tahun.





(Gambar 2.4 Stenosis Pulmonal/ SP)


3. Koartasio Aorta
Kelaianan pada koartasi aorta, aorta berkontriksi dengan beberapa cara. Kontriksimungkin proksimal atau distal terhadap duktus arteriosus. Kelaianan ini biasanyatidak segera diketahui, kecuali pada kontriksi berat. Untuk itu penting melakukanskrening anak saat memeriksa kesehatannya, khususnya bila anak mengikutikegiatan-kegiatan olah raga.
 Manifestasi klinik
Ditandai dengan adanya kenaikan tekanan darah, secara proksimal pada kelainandan penurunan secara distal. Tekanan darah lebih tinggi pada lengan daripadakaki. Denyut nadi pada lengan terasa kuat, tetapi lemah pada popliteal danfemoral. Kadang-kadang dijumpai adanya murmur jantung lemah denganfrekuensi tinggi. Diagnosa ditegakkan dengan cartography.
 Penatalaksanaan
Kelainan dapat dikoreksi dengan Balloon Angioplasty, pengangkatan bagianaorta yang berkontriksi atau anastomi bagian akhir, atau dengan caramemasukkan suatu graf.





(Gambar 2.5 Koartasio Aorta/ KA)

c. CHD/ PJB sianotik dengan vaskularisai paru berkurang
1. Tetralogi fallot
Tetralogi fallot merupakan penyakit jantung yang umum, dan terdiri dari 4kelainan yaitu: 1) stenosis pulmonal, 2) hipertropi ventrikel kanan, 3) kelainanseptum ventrikuler, 4) kelainan aorta yang menerima darah dari ventrikel danaliran darah kanan ke kiri melalui kelainan septum ventrikel.
 Manifestasi klinik
Bayi baru lahir dengan TF menampakkan gejala yang nayata yaitu adanyasianosis, letargi dan lemah. Selain itu juga tampak tanda-tanda dyspne yangkemudian disertai jari-jari clubbing, bayi berukuran kecil dan berat badan kurang.Bersamaan dengan pertambahan usia, bayi diobservasi secara teratur, sertadiusahakan untuk mencegah terjadinya dyspne. Bayi mudah mengalami infeksisaluran pernafasan atas. Diagnosa berdasarkan pada gejala-gejala klinis, mur-mur jantung, EKG foto rongent dan kateterisasi jantung.
 Penatalaksanaan
Pembedahan paliatif dilakukan pada usia awal anak-anak, untuk memenuhipeningkatan kebutuhan oksigen dalam masa pertumbuhan. Pembedahanberikutnya pada masa usia sekolah, bertujuan untuk koreksi secarapermanent. Dua pendekatan paliatif adalah dengan cara :
1. Blalock-Tausing,dilakukan pada ananostomi ujung ke sisi subklavikula kanan atau arterikarotis menuju arteri pulmonalis kanan.
2. Waterson dikerjakan padasisi ke sisi anastonosis dari aorta assenden, menuju arteri pulmonalis kanan,tindakan ini meningkatkan darah yang teroksigenasi dan membebaskangejala-gejala penyakit jantung sianosis.





(Gambar 2.6Tetralogi fallot/ TF)

d. CHD/ PJB sianotik dengan vaskularisasi parubertambah
1. Transposisi arteri besar/ Transpotition Great artery (TGA)
Apabila pembuluh pembuluh darah besar mengalami transposisiaorta, arteri aorta dan pulmonal secara anatomis akan terpengaruh. Anaktidak akan hidup kecuali ada suatu duktus arteriosus menetap atau kelainanseptum ventrikuler atau atrium, yang menyebabkan bercampurnya daraharteri-vena. Pada TGA terjadi perubahan tempat keluarnya posisi aorta dan arteri pulmonalis yakni aorta keluar dari ventrikel kanan dan terletak di sebelahanterior arteri pulmonalis, sedangkan arteri pulmonalis keluar dari ventrikel kiri ,terletak posterior terhadap aorta. Akibatnya aorta menerima darah vena sistemik dari vena kava, atriumkanan, ventrikel kanan dan darah diteruskanke sirkulasi sistemik.
Sedang darah dari vena pulmonalis dialirkan keatrium kiri, ventrikel kiri dan diteruskan ke arteripulmonalis dan seterusnya keparu.Dengan demikian maka kedua sirkulasi sistemik dan paru tersebutterpisah dan kehidupan hanya dapat berlangsung apabila ada komunikasiantara 2 sirkulasi ini. Pada neonatus percampuran darah terjadi melaluiduktus arteriosus dan foramen ovale keatrium kanan. Pada umumnyapercampuran melalui duktus dan foramen ovale ini tidak adekuat, dan biladuktus arteriosus menutup maka tidak terdapat percampuran lagi di tempattersebut, keadaan ini sangat mengancam jiwa penderita.

 Manifesfasi klinik
Transposisi pembuluh-pembuluh darah ini tergantung pada adanyakelainan atau stenosis. Stenosis kurang tampak apabila kelainanmerupakan PDA atau ASD atau VSD, tetapi kegagalan jantung akanterjadi.
 Penatalaksanaan
Pembedahan paliatif dilakukan agar terjadi percampuran darah. Pada saatprosedur, suatu kateter balon dimasukan ketika melakukan kateterisasi jantung, untukmemperbesar kelainanseptum intra arterial. Pada cara Blalock Halen dibuatsuatu kelainan septum atrium. Pada Edward vena pulmonale kanan. Sedangkan cara Mustard digunakan untuk koreksi yang permanent. Septum dihilangkandibuatkan sambungan sehingga darah yang teroksigenisasi dari venapulmonale kembali ke ventrikel kanan untuk sirkulasi tubuh dan darah tidakteroksigenisasi kembali dari vena cava ke arteri pulmonale untuk keperluansirkulasi paru-paru. Kemudian akibat kelaianan ini telah berkurang secaranyata dengan adanya koreksi dan paliatif.






(Gambar 2.7 Transpotition Great Artery/ TGA)

2.5 Komplikasi
Pasien dengan penyakit jantung congenital terancam mengalamiberbagai komplikasi antara lain:
1. Gagal jantung kongestif / CHF.
2. Renjatan kardiogenik/ Henti Jantung.
3. Aritmia.
4. Endokarditis bakterialistis.
5. Hipertensi.
6. Hipertensi pulmonal.
7. Tromboemboli dan abses otak.
8. Obstruksi pembuluh darah pulmonal.
9. Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur).
10. Enterokolitis nekrosis.
11. Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas atau displasia bronkkopulmoner).
12. Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit.
13. Hiperkalemia (penurunan keluaran urin).
14. Gagal tumbuh.

2.6 Pafofisiologi
Kelainan jantung congenital menyebabkan dua perubahan hemodinamikutama. Shunting atau percampuran darah arteri dari vena serta perubahan alirandarah pulmonal dan tekanan darah. Normalnya, tekanan pada jantung kanan lebihbesar daripada sirkulasi pulmonal. Shunting terjadi apabila darah mengalir melaluilubang abnormal pada jantung sehat dari daerah yang bertekanan lebih tinggi kedaerah yang bertekanan rendah, menyebabkan darah yang teroksigenisasi mengalirke dalam sirkulasi sistemik.
Aliran darah pulmonal dan tekanan darah meningkat bila ada keterlambatanpenipisan normal serabut otot lunak pada arteriola pulmonal sewaktu lahir.Penebalan vascular meningkatkan resistensi sirkulasi pulmonal, aliran darahpulmonal dapat melampaui sirkulasi sistemik dan aliran darah bergerakdari kananke kiri.Perubahan pada aliran darah, percampuran darah vena dan arteri, serta kenaikan tekanan pulmonal akan meningkatkan kerja jantung.Manifestasi dari penyakit jantung congenital yaitu adanya gagal jantung,perfusi tidak adekuat dan kongesti pulmonal.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Foto thorak : Melihat atau evaluasi adanya atrium dan ventrikel kiri membesar secara signifikan (kardiomegali), gambaran vaskuler paru meningkat.
2. Echokardiografi : Rasio atrium kiri tehadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada bayi cukup bulan atau lebih dari 1,0 pada bayi praterm (disebabkan oleh peningkatan volume atrium kiri sebagai akibat dari pirau kiri ke kanan).
3. Pemeriksaan laboratorium : Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH.
4. Pemeriksaan dengan Doppler berwarna : digunakan untuk mengevaluasi aliran darah dan arahnya.
5. Elektrokardiografi (EKG) : bervariasi sesuai tingkat keparahan, adanya hipertropi ventrikel kiri, kateterisasi jantung yang menunjukan striktura.
6. Kateterisasi jantung : hanya dilakukan untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO atau Doppler yang meragukan atau bila ada kecurigaan defek tambahan lainnya.
7. Diagnosa ditegakkan dengan cartography dan Cardiac iso enzim (CPK & CKMB) meningkat.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN CONGENITAL HEART DISEASES


3.1 Pengkajian Keperawatan
A. Riwayat Keperawatan
1. Riwayat terjadinya infeksi pada ibu selama trimester pertama. Agenpenyebab lain adalah rubella, influenza atau chicken pox.
2. Riwayat prenatal seperti ibu yang menderita diabetes mellitus denganketergantungan pada insulin.
3. Kepatuhan ibu menjaga kehamilan dengan baik, termasuk menjaga giziibu, dan tidak kecanduan obat-obatan dan alcohol, tidak merokok.
4. Proses kelahiran atau secara alami atau adanya faktor-faktormemperlama proses persalinan, penggunaan alat seperti vakum untukmembantu kelahiran atau ibu harus dilakukan SC.
5. Riwayat keturunan, dengan rnemperhatikan adanya anggota keluargalain yang juga mengalami kelainan jantung, untuk mengkaji adanyafactor genetik yang menunjang.
6. Riwayat tumbuh
Biasanya anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan karena fatiq selama makan dan peningkatan kebutuhan kalori sebagai akibat dari kondisi penyakit.
7. Riwayat psikososial/ perkembangan :
 Kemungkinan mengalami masalah perkembangan.
 Mekanisme koping anak/ keluarga.
 Pengalaman hospitalisasi sebelumnya.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan sama dengan pengkajian fisik yangdilakukan terhadap pasien yang menderita penyakit jantung padaumumnya. Secara spesifik data yang dapat ditemukan dari hasil pengkajian fisikpada penyakit jantung congenital ini adalah:
 Riwayat keperawatan : respon fisiologis terhadap defek (sianosis, aktivitas terbatas).
 Observasi adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan (machinery mur-mur), cedera tungkai, hepatomegali.
 Observasi adanya hipoksia kronis : clubbing finger.
 Observasi adanya hiperemia pada ujung jari.
 Observasi pola makan, pola pertambahan berat badan.
 Bayi baru lahir berukuran kecil dan berat badan kurang.
 Observasi apakah anak terlihat pucat, banyak keringat bercucuran, ujung-ujung jari hiperemik.
 Observasi diameter dada bertambah, sering terlihat benjolan dada kiri.
 Tanda yang menojol adalah nafas pendek dan retraksi pada jugulum, sela intrakostal dan region epigastrium.
 Pada anak yang kurus terlihat impuls jantung yang hiperdinarnik.
 Observasi anak mungkin sering mengalami kelelahan dan infeksi saluran pernafasan, sedangkan neonatus menunjukan tanda-tanda respiratory distress seperti mendengkur, tacipnea dan retraksi.
 Observasi apakah anak pusing, tanda-tanda ini lebih nampak apabila pemenuhan kebutuhan terhadap O2 tidak terpenuhi ditandai dengan adanya murmur sistolik yang terdengar pada batas kiri sternum.
 Observasi apakah ada kenaikan tekanan darah. Tekanan darah lebih tinggi pada lengan daripada kaki. Denyut nadi pada lengan terasa kuat, tetapi lemah pada popliteal dan temporal.
 Pengkajian psikososial meliputi : usia anak, tugas perkembangan anak, koping yang digunakan, kebiasaan anak, respon keluarga terhadap penyakit anak, koping keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan cardiac output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas jantung, perubahan tekanan jantung.
2. Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan peningkatan resistensi vaskuler paru, kongesti pulmonal.
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia miokard.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori.
5. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan, ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke jaringan.
7. Peningkatan volume cairan tubuh berhubungan dengan kongestif vena, penurunan fungsi ginjal.
8. Kurang pengetahuan ibu tentang keadaan anaknya berhubungan dengan kurangnya inforrnasi.
9. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan kurang pengetahuan keluarga tentang diagnosis/prognosis penyakit anak.

3.3 Rencana Keperawatan

1. Penurunan cardiac output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas jantung, perubahan tekanan jantung.

Tujuan : Pasien dapat mentoleransi gejala-gejala yang ditimbulkan akibatpenurunan curah jantung, dan setelah dilakukan tindakan keperawatan terjadipeningkatan curah jantung sehingga keadaan normal.
Intervensi:
1. Bina hubungan saling percaya (BHSP) dengan pasien dan keluarga pasien.
Rasional : Menciptakan suasana yang kondusif dan bersahabat.
2. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang cardiac output.
Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat.
3. Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional: permulaan terjadinya gangguan pada jantung akan ada perubahanpada tanda-tanda vital seperti pernafasan menjadi cepat, peningkatan suhu, nadimeningkat, peningkatan tekanan darah, semuanya dapat cepat dideteksi untukpenangan lebih lanjut.
4. Informasikan dan anjurkan tentang pentingnya istirahat yang adekuat.
Rasional: istirahat yang adekuat dapat meminimalkan kerja dari jantung dandapat mempertahankan energi yang ada.
5. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai indikasi.
Rasional:meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokord dan untukmelawan efek hipoksia/iskemia.
6. Observasi keadaan kulit terhadap pucat dan sianosis.
Rasional: pucat menunjukan adanya penurunan perfusi sekunderterhadap ketidakadekuatan curah jantung, vasokonstriksi dan anemi.
7. Monitor tanda-tanda CHF seperti gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, mudah lelah, periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali.
Rasional : untuk mengetahui sejauh mana tingkat kegawatan dari anak serta diperlukan dalam mendeteksi untuk penanganan lebih lanjut.
8. Observasi perubahan pada sensori, contoh letargi, bingung disorientasi cemas.
Rasional: dapat menunjukan tidak adekuatnya perfusi serebral sekunder terhadappenurunan curah jantung.
9. Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian tindakan farmakologis berupa digitalis dan digoxin.
Rasional: mempengaruhi reabsorbsi natrium dan air, dan digoksinmeningkatkan kekuatan kontraksi miokard dan memperlambat frekuensi jantung dengan menurunkan konduksi dan memperlambat periode refraktori padahubungan AV untuk meningkatkan efisiensi curah jantung.


2. Tidak efektif pola nafas berhubungan dengan peningkatan resistensi vaskuler paru, kongesti pulmonal.
Tujuan : Tidak terjadi ketidakefektitan pola nafas.
Intervensi :
1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang cardiac output.
Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat.
2. Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman serta catat upaya pernafasan.
Rasional : pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah komplikasi.
3. Observasi penyimpangan dada, penurunan ekspansi paru atau ketidaksimetrisan gerakan dada.
Rasional : udara atau cairan pada area pleura mencegah ekspansi lengkap (biasanya satu sisi) dan memerlukan pengkajian lanjut status ventilasi.
4. Observasi ulang laporan foto thorax dan pemeriksaan laboratorium GDA, Hb sesuai indikasi.
Rasional: pantau keefektifan terapi pernafasan dan catat terjadinya komplikasi.
5. Minimalkan menangis atau aktifitas yang meningkat pada anak.
Rasional: menangis akan menyebabkan pernafasan anak akan meningkatkan.


3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia miokard.
Tujuan : Menyatakan nyeri hilang dan anak keliatan nyaman.
Intervensi:
1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang nyeri dan penanganannya.
Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat.
2. Observasi adanya keluhan nyeri, pada anak bisa ditunjukan dengan rewel atau sering menangis.
Rasional: Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri.
3. Observasi perilaku dan tanda-tanda vital anak tiap 4 jam.
Rasional : Perilaku dan tanda vital membantu menentukan derajat atau adanya ketidaknyamanan pasien.
4. Evaluasi respon terhadap obat/terapi yang diberikan.
Rasional: penggunaan terapi obat dan dosis, catat nyeri yang tidak hilang atau menurun dengan penggunaan nitrat.
5. Berikan lingkungan istirahat yang nyaman dan batasi aktivitas anak sesuai kebutuhan.
Rasional: aktivitas berlebih dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. (contoh kerja tiba-tiba, stress, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.
6. Ajarkan teknik distraksi relaksasi pada anak dan ibu.
Rasional : dengan adanya distraksi nyeri anak dapat dialihkan/pengalihan dan dapat menurunkan respon nyeri.
7. Anjurkan ibu untuk selalu memberikan ketenangan pada anak.
Rasional: ketenangan anak akan mengurangi stress yang dapat memperberat nyeri yang dirasakan.
8. Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian analgesic.
Rasional : analgesik bekerja dengan menghambat nosiseptor nyeri menempati reseptornya, sehingga nyeri tidak dirasakan lagi.


4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori.
Tujuan: Anak dapat makan dan menyusu dan tidak terjadi penurunan beratbadan selama terjadi perubahan status nutrisi.
Intervensi:
1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang manfaat dari nutrisi sendiri.
Rasional: lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat.
2. Anjurkan ibu untuk terus memberikan anak susu, walaupun sedikit tetapi sering.
Rasional: air susu akan mempertahankan kebutuhan nutrisi anak.
3. Pada anak yang sudah tidak menyusui lagi maka berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering dengan diet sesuai instruksi (TKTP).
Rasional : meningkatan intake atau masukan dan mencegah kelemahan.
4. Jika anak menunjukkan kelemahan akibat ketidak adekuatannya nutrisi yang masuk maka pasang infuse.
Rasional: infuse akan menambah kebutuhan nutrisi yang tidak dapat dipenuhimelalui oral.
5. Observasi selama pemberian makan atau menyusui.
Rasional: selama makan atau menyusui mungkin dapat terjadi anak sesak atau tersedak.
6. Timbang berat badan setiap hari dengan timbangan yang sama dan waktu yang sama.
Rasional : mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
7. Observasi dan catat masukan makanan anak/ intake dan output secara benar.
Rasional : mengawasi masukkan kalori dan kualitas kekurangan konsumsi makanan.
8. Berikan dan bantu hygiene mulut yang baik sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut, berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral luka.
Rasional : meningkatkan nafsu makan dan pemasukan oral, menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi.


5. Peningkatan volume cairan tubuh berhubungan dengan kongestif vena, penurunan fungsi ginjal.
Tujuan : Menunjukan keseimbangan masukan dan keluaran, berat badan stabil,tanda-tanda vital dalam rentang normal, tidak terjadinya edema.
Intervensi:
1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang cairan.
Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat.
2. Pantau pemasukan dan pengeluaran/ intake dan output, catat keseimbangan cairan, timbangberat badan anak setiap hari.
Rasional : penting pada pengkajian jantung dan fungsi ginjal dankeefektifan terapi diuretic, keseimbangan cairan berlanjut dan berat badanmeningkat menunjukkan makin buruknya gagal jantung.
3. Kaji adanya edema periorbital, edema tangan dan kaki, hepatomegali, rales,ronchi, penambahan berat badan.
Rasional: menunjukan kelebihan cairan tubuh.
4. Berikan batasan diet natrium sesuai dengan indikasi.
Rasional : menurunkan retensi natrium.
5. Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian diuretic ( furosemid ) sesuai indikasi.
Rasional: menghambat reabsorsi natrium, yang meningkatkan eksresi cairan danmenurunkan kelebihan cairan total tubuh.


6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan, ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan suplai oksigen ke jaringan.
Tujuan : Anak dapat melakukan aktivitas yang sesuai tanpa adanyakelemahan.
Intervensi:
1. Berikan health education pada pasien dan keluarga pasien tentang aktifitas.
Rasional : lebih meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pasien dan keluarga pasien serta lebih kooperatif dalam tindakan pelaksanaan yang dilakukan perawat.
2. Kaji perkembangan tanda-tanda peningkatan tanda-tanda vital, seperti adanyasesak.
Rasional: menunjukan gangguan pada jantung yang kemudian akanmenggunakan energi lebih sebagai kompensasi sehingga akhirnya anak menjadikelelahan.
3. Bantu pasien dalam aktivitas yang tidak dapat dilakukannya.
Rasional: teknik penghematan energi.
4. Support dalam pemberian nutrisianak.
Rasional : nutrisi dapat membantu meningkatkan metabolisme juga akanmeningkatkan produksi energi.
5. Batasi aktifitas anak yang berlebihan.
Rasional : meminimalkan kerja dari jantung dan dapat mempertahankan energi yang ada.


7. Kurang pengetahuan ibu/ keluarga tentang keadaan anaknya berhubungan dengan kurangnya inforrnasi.
Tujuan : Ibu/ keluarga tidak mengalami kecemasan dan mengetahui proses penyakit danpenatalaksanaan keperawatan yang dilakukan.
Intervensi:
1. Berikan pendidikan kesehatan (health education) kepada ibu dan keluarga mengenaipenyakit serta gejala dan penataksanaan yang akan dilakukan.
Rasional: informasi akan meningkatkan pengetahuan ibu/ keluarga sehingga cemas yangdialami ibu/ keluarga melihat kondisi anaknya akan berkurang bahkan hilang.
3.4 Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukannya asuhan keperawatan adalah :
1. Anak akan menunjukkan tanda-tanda membaiknya curah jantung/ cardiac output.
2. Anak akan menunjukkan tanda-tanda tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru dan efektif pola nafasnya.
3. Anak akan merasa nyaman dan tidak mengalami/ merasa nyeri dada.
4. Anak akan mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat.
5. Anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan tinggi badan.
6. Anak akan mempertahankan intake makanan dan minuman untuk mempertahankan berat badan dalam menopang pertumbuhan.
7. Orang tua akan mengekspresikan perasaannya akibat memiliki anak dengan kelainan jantung, mendiskusikan rencana pengobatan, dan memiliki keyakinan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam keberhasilan pengobatan.

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada klien anak yang mengalami congenital heart diseases atau penyakit jantung bawaan (CHD) merupakan bentuk asuhan keperawatan kompleks yang melibatkan aspek biologis, psikologis dan sosial dalam proporsi yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya.
Asuhan keperawatan yang paripurna harus dilaksanakan dengan kompeten dan professional agar dapat memcapai tingkat homeostatis maksimal bagi klien anak. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegakkan untuk membantu klien anak mencapai tingkat optimalisasi dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat penyakit congenital heart diseases atau penyakit jantung bawaan (CHD).
4.2 Saran
Untuk menjadikan makalah ini menjadi makalah yang sempurna maka harus disertai saran-saran yang bersifat mendorong dan membangun, saran - saran itu antara lain :
1. Kita hendaknya lebih memahami tentang congenital heart diseases atau penyakit jantung bawaan (CHD) dalam meningkatkan pelayanan pada penderita/ anak khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan.
2. Kita hendaknya mampu dan mau mempelajari makalah “Asuhan Keperawatan Anak Dengan CHD”, demi untuk menambah pengetahuan dibidang ilmu keperawatan khususnya, dan dibidang pelayanan dan pemberian asuhan keperawatan pada umumnya.
Demikian saran dari kami semoga apa yang kami suguhkan dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Juall. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Ed. 10. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Pasien. ed.03. Jakarta : EGC.
Gusty. Reni Prima, dkk. (2010). Asuhan Keperawatan Anak Dengan Tetralogi Fallot. www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-dqrn164.doc. (akses tanggal 6 April 2010).
IdeBagus. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kelainan Jantung Bawaan. http://one.indoskripsi.com/node/4348. (akses tanggal 6 April 2010).
Madiyono, Bambang, dkk. (2005). Penanganan Penyakit Jantung Pada Bayi Dan Anak.. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Mansjoer Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, -Ed.03-. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan. (1993). Proses Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.
Tim Keperawatan Anak. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Congenital Heart Diseases (CHD). http://webcache.googleusercontent.com/-search?q=cache%3AAZYB6GQjcSgJ%3Ainherent.brawijaya.ac.id%2Fvlm%2Ffile.php%2F35%2Fchd.pdf+askep+penyakit+jantung+bawaan+pada+anak&hl=id&gl=id. (akses tanggal 6 April 2010).
Tyo. (2010). Askep Anak dengan Penyakit Jantung Bawaan. http://www.kuliah-keperawatan.co.cc/2010/04/askep-anak-dengan-penyakit-jantung.html. (akses tanggal 6 April 2010).
Yahya. Fauzi. (2009). Penyakit Jantung bawaan. http://joenurse.blog.friendster.com/2009/05/penyakit-jantung-bawaan/. (akses tanggal 6 April 2010).